Kamis, 25 Agustus 2011

CERPEN: GADIS SERIBU TUNTUTAN

 


Seringkali gundah goyahkan hatiku

Saat kulihat Adam-Hawa di masa sekarag

Aku sendiri

Seolah kudapati diri di padang luas yang tandus

Berharap temukan oase

Lalu kupikir

Andai aku jadi kaktus saja

Yang…

 

“Sheila…!!!” panggil sang Ibu yang hendak meminta bantuan Sheila sembari menghampiri anak tengahnya itu. “oh, lagi belajar ya?” gumam Sang Ibu saat melihat Sheila terlihat serius duduk di meja belajar di kamarnya. Segera Sheila menyudahi menulis puisi untuk membantu ibunya, sehingga apa yang hendak ia tulis tak sempat ditulisnya.

Sheila adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Gadis berusia 19 tahun ini adalah mahasiswi program studi pendidikan Bahasa Inggris semester dua di salah satu universitas favorit di Bandung. Cita-citanya adalah menjadi serang guru. Sebuah cita-cita yang konsisten sejak ia masih kecil. Sheila merasa dia memiliki bakat untuk menjadi seorang guru, maka ia pilih fakultas keguruan.

Saat surya menyingkap tirai malam,Sheila terbiasa mengerjakan tugas yang menjadi bagiannya, yakni menyapu, mencuci piring dan mengantarkan adiknya ke sekolah. Sheila berangkat kuliah dengan mengendarai skuter maticnya. Di tengah perjalanan ke kampus, tiba-tiba ban motornya pecah sehingga ia harus menuntun sepeda motornya sendiri ke tempat tambal ban terdekat. Di benaknya ia berharap akan ada sang pangeran berkuda putih yang akan membantunya, namun kenyataannya nihil. Segera Sheila mengabari Nesa, temannya, lewat pesan singkat. “kalau saja tadi aku bilang mau buat dianterin kuliah sama Kak Reza, pasti aku gak akan absen mata kuliah pertama. Hmmmm…” gerutu Sheila di dalam hati.

Sheila bukanlah tipe wanita yang cepat merespon saat ada laki-laki yang mendekatinya, tapi ia juga bukan tipe wanita yang cuek. Dia selalu rikuh saat berhadapan dengan laki-laki, terlebih jika tahu bahwa laki-laki itu menyukainya. Saat semester satu awal, dia ditembak oleh Gilang, teman satu angkatannya yang sudah pedekate sejak masa-masa ospek. Namun, Sheila tak lantas menerimanya. Memasuki pertengahan semester, Arbi, teman sekelasnya, menyatakan cinta lewat facebook sehingga membuat heboh satu kelas. Lagi-lagi Sheila menolaknya. Sebenarnya, Sheila menyukai sosok Ikmal, mahasiswa semester enam yang juga satu program studi. Sheila hanya menjadi pemuja rahasianya, padahal sahabat-sahabatnya tahu akan hal itu. Ikmal adalah sosok yang smart dan berkarakter beda menurut Sheila. Seperti anomali, tapi di usianya yang masih 22, dia sudah menjadi salah satu trainer motivasi di salah satu lembaga training center, juga pembimbing di salah satu tempat kursus Bahasa Inggris. Mengetahui kalo favorite boynya berstatus pacaran di facebook, Sheila pun kecewa. “Mereka memang serasi karena sama-sama smart” Gerutu Sheila sedikit kecewa.

“Shel, menurutku, Gilang itu lebih keren dari Kak Ikmal…” gumam Nesa, sedikit ragu untuk mengucapkannya, “Yaa, tiap orang punya pencitraan tersendiri….soal Gilang, aku rasa dia cuma bercanda aja!” jawab Sheila pada Nesa yang merupakan mak comblang antara Gilang dengan Sheila. “Justru dia masih ngarep sama kamu, dia bilang…” kalimat Nesa langsung dipotong Sheila “ahh, mening dibingungkan sama matematika daripada sama hal-hal kaya gini mah. Nes aku ke toilet dulu ya!”  Begitu keluar dari kelas, dia berpapasan dengan Gilang. Seolah tak kenal, Gilang memalingkan muka setelah beberapa detik melihat Sheila. “Kenapa sih dia? Biasa aja lah! Untung aku gak keburu senyum sama dia” gerutu Sheila agak kesal.

Kini Sheila sedang dekat dengan Reza, mahasiswa semester empat yang juga satu prodi. Mereka dekat karena dicomblangkan Metha, teman dekat Reza yang juga cukup akrab dengan Sheila. Di jam kuliah terakhir, handphone Sheila bergetar tanda ada pesan masuk, tapi Sheila mengabaikannya.

So, assignment for next week, Please You watch two western movie and listen how pronunciation between British stile and American style. Ok That’s all, you may leave the class!” jelas Bu Indah, Dosen Listening. Dari wajah penghuni kelas saat itu terlihat raut kepenatan. Tugas-tugas terus bertubi-tubi datang, walaupun ada juga mahasiswa yang cuek-cuek saja.  Entah mungkin karena tugas-tugasnya mudah, atau karena jenuh dan pasrah, atau bahkan mungkin sudah memiliki orang andalan yang siap membereskan tugas-tugasnya.

Dari jauh, Reza sudah melihat Sheila dan berkata pada sahabatnya, Ikbal, yang ada di sampingnya “Geregett tau gak sama gadis seribu tuntutan kaya si dia! Tiap kali di
ajak jalan pasti gak bisa, Alasannya pasti beresin tugas”

“Terus kenapa lo masih aja pedekate?”  “Penasaran! Gue nyamperin dia dulu ya!” jawab Reza dan langsung memanggil Sheila. Mereka pun mengobrol di bawah pohon rindang. Namun yang diobrolkan Sheila ialah tentang tugas-tugasnya. Sibuk browsing lewat laptop dengan memanfaatkan hotspot gratis di area kampus, pertanyaan-pertanyaan Reza pun dijawab dengan jawaban-jawaban yang tidak koheren. Reza pun terus memandangi Sheila. Merasa risih, Sheila berkata ”kenapa sih? Awas ya kalau omes!” “ I love you” “Apa?” “I proud of you” “haah????” “salut aja sama kamu yang setiap detik disibukkan sama tuntutan. Anak rajin!” jawab Reza sambil menggerutu dalam hati. Teringat di benak Sheila saat setiap kali smsan dengan Reza.

Lg ngapain Shel? :-)

Lg beresin tugas nih!

Hmm…rajin!!!

Bukan rajin, tp tuntutan, hehe..

Sejak saat itu, Reza memberikan julukan sendiri pada Sheila yaitu gadis seribu tuntutan.

Antusiasme Sheila dam perkuliahannya tdak sia-sia, terbukti dengan IP semester satunya yang tiadak kurang dari 3,5. Belajar di perguruan tinggi itu jangan disamakan seperti di sekolah menengah. Kuliah itu memperdalam ilmu yang berarti menambah pemahaman, dan harusnya menjadikan seseorang semakin pintar. Namun, apa guna kepintaran bila tidak diwujudkan dengan sebuah kesuksesan. Untuk sukses, maka harus kerja keras dan ulet. Lulusan perguruan tinggi harus sukses, sebab untuk apa kuliah, jika banyak orang yang sukses dengan ijazah sekolah menengah saja. Pemikiran itu yang membuat Sheila begitu antusias untuk menjadikan impiannya tak sebatas impian.

Pagi kembali mengusir awan malam, setelah semalaman Sheila mnyelesaikan tugas-tugasnya yang sudah dia cicil setiap malam. Keinginannya agar tugas selesai saat dua hari sebelum deadline akhirnya tercapai. Namun, alhasil Sheila bangun kesiangan, padahal ada kuliah pagi. Ditambah lagi dengan motornya yang dipakai Sang kakak pergi entah kemana. Sinar pagi semakin menjalar, tapi Sang kakak belum juga menampakkan batang hidungnya. Sheila pun akhirnya naik angkot. Tensinya makin naik karena di angkot Sheila duduk di sebelah pemuda yang asyik merokok. Saat tiba di gerbang kampus, Sheila melihat Gilang membonceng Citra, teman sekelas Gilang. Hmm…emang benar, cowok mah gampang melupakan sesuatu, sebaliknya kalau cewekCowok emang mahluk paling gak sensitive. Gerutu Sheila di dalam hati. Tiba-tiba tiiiiiitttt… terdengar suara klakson motor Arbi yang mengagetkan Sheila. “Apa sih?!!!” tegas Sheila sambil mengkerutkan keningnya, tapi Arbi hanya memberikan tawa kegirangan. “Harusnya hari ini berawal dengan baik karena semua tugas sudah beres. Tapi…hmm ya sudahlah cause everything it’s gonna be ok!” gerutu Sheila mencontek potongan lirik lagu Bondan ft. Fade to Black.

Sudah beberapa hari setelah mengobrol di bawah pohon rindang lalu, Reza tidak mengirim sms, apalagi untuk bertemu. “padahal lagi santai nih gak ada tugas, tapi kak Reza kok gak…” ucap Sheila dalam hati. Sebenanrnya bias saja Sheila memberi kabar pada Reza lewat sms, tapi harga dirinya terlalu tinggi. Karena hal ini, pikiran Sheila tak karuan. Kurang aktif saat mengikuti perkuliahan, tidak seperti biasanya, telat mikir, banyak melamun, dan lain-lain yang mengganggu konsentrasinya.

Sementara itu di lain tempat, Reza menceritakan perihal sikap Sheila yang cuek padanya pada Metha. “Dia suka alihin pembicaraan kalo gue coba buat nyatain perasan. Diajak jalan, pasti gak bisa…mungkin si Sheila gak suka sama gue, atau mungkin dia udah punya cowok!” jelas Reza pada Metha. Metha pun menceritakan hal itu pada Sheia dan hal itu membuat konsentrasinya makin buyar. Tidak hanya saat perkuliahan saja, saat ditanya oleh ayah, ibu, kakak dan adiknya pun Sheila tidak fokus menjawabnya. Konsentrasinya pada pelajaran buyar saat Sheila mencoba mengulas pelajaran yang disampaikan Dosen tadi siang. Tak sengaja menemukan selembar kertas bertuliskan puisi karyanya yang belum selesai, Sheila pun mencoba melanjutkan puisinya itu.

 

. . .

Yang tak perlu mencari oase

Yang tetap hidup di tengah kegersangan

Namun sayangnya bukan

Aku adalah sorang insan yang pasti kan resah tanpa air

 

“Cape hati gue. Ambisius banget dia, kesibukannya melebihi mahasiswa semester enam yang lagi Kuliah Kerja Nyata alias KKN. Padahal dia masih semester dua. Apa dia gak butuh seseorang buat ngasih perhatian lebih sama dia? Tapi gue tetep suka sama dia” gerutu Reza pada Ikbal, sohibnya.

“Kalo mau disuka sama dia, lo harus lebih pintar dari Ikmal, tahu kan?...paling enggak, nyamain lah!” jawab Ikbal.

“ wah ngeledek lo, kurang pintar apa lagi gue? Cuma dua mata kuliah yang mesti ngulang mah wajar lah, hahaha” gurau Reza, tapi sebenarnya dia menanggapi serius ucapan sohibnya itu.

Mengetahui bahwa di kampusnya akan diadakan pelatihan motivasi yang salah satu trainernya adalah Ikmal, Sheila pun tak akan absent untuk mengikutinya. Selama pelatihan, Sheila cukup aktif bertanya sehingga diingat Ikmal. Seiring waktu, meraka pun menjadi akrab, termasuk dengan Anis, pacar Ikmal. Setiap ada seminar atau workshop, Ikmal dan Anis mengabari Sheila dan mengajaknya. Selain itu, karena melihat kemampuan Sheila, Anis menawari Sheila untuk mengajar Bahasa Inggris di sebuah Taman Kanak-kanak. Kesempatan itu tidak disia-siakan Sheila dan orang tuanya pun mendukung hal itu, asalkan dia bisa memanage waktunya dengan baik. Apa yang Sheila pelajari saat perkuliahan, lalu dia praktekan saat mengajar di SD dan hal itu tentu menambah kelancarannya dalam berbahasa Inggris.

Malam kembali menutup langit biru. Saat hendak tidur, tiba-tiba tedengar nada pesan masuk. Rupanya dari Reza yang berisi ucapan selamat malam. Setidaknya hal itu membuat Sheila tersenyum tenang.

Pagi harinya, Sheila yang sedang berkumpul dengan teman-temannya sambil menunggu kedatangan Dosen, tiba-tiba dihampiri Reza. Reza pun mengajaknya untuk mengobrol berdua. Setelah berbasa- basi, lalu Reza berkata “ Besok hari apa ya?”

“Minggu…ya ampun dasar kakek-kakek pikun!”

“Main yuk!”. Seketika itu Sheila pun gugup dan bimbang, lalu Reza mengalihkan pembicaraan. “Kata Metha, sekarang kamu ngajar Bahasa Inggris di SD ya?...Wah makin banyak dong tuntutannya! Salut lah sama kamu” Namun Sheila hanya tersenyum aneh. Lalu Reza mennyanyikan potongan lagu Aishiteru yang sedang hits “Lupakan sgala obsesi dan ambisimu, akhiri semuanya cukup sampai di sini…” Entah kenapa mendengar lagu itu Sheila merasa bahwa Reza sedang menyindirnya. “Oh iya, Nanti sore jam tiga, anak-anak teater pentas di aula. Aku jadi peran utamanya lho! Nonton ya…kalau gak bisa juga gak apa-apa” jelas Reza. Bersama teman-temannya, Sheila pun menonton pementasan teater. Semua orang yang hadir terhibur dan seolah perutnya dikocok dengan humoran dan kekocakan para pemain. Reza senang dengan kehadiran Sheila. Namun Reza sedikit cemburu melihat Sheila duduk di samping Arbi. Hari sudah gelap, saat Reza hendak menghampiri Sheila dengan niat akan mengantarkannya pulang, tiba-tiba Sheila beranjak bersama Arbi. Rupanya Reza kalah cepat dengan Arbi. “Cinta emang gak bisa dipaksain, hmm…cukup sampai sini Shel!” gerutu Reza.

Sejak saat itu, Reza tidak pernah mengirim sms, menelpon, atau menemui Sheila. Hanya tersenyum kecil saat berpapasan. “Kak Reza ternyata sama saja, gak serius, cuma main-main. Hal kayak gini bikin orang jadi payah, jadi mellow. Pacaran itu bikin nyandu dengan sejuta fantasinya, nyita waktu tau gak!” ucap Sheila dengan ketusnya.

“Bukan Reza yang mainin kamu, tapi kamu saja yang kurang menghargai persaann dan perhatiannya. Jangan bohong kalau kamu gak butuh seorang laki-laki yang bisa sayang sama kamu. Kamu kecewa, tepatnya sakit hati kan? Kuliah itu memang prioritas, tapi cinta itu salah satu penyemangat juga. Oh iya, Reza bilang semoga kamu sukses mewujudkan impian kamu” jelas Metha.

Akhirnya, Sheila dapat memahami perkataan Metha dan menyadari hal itu. “Untuk kedepannya, aku akan lebih menghargai perasaan seseorang yang memberikan perhatian lebihnya, tapi tetap dengan prioritasku.”

 

                      ***

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar