Seringkali gundah goyahkan hatiku
Saat kulihat Adam-Hawa di masa sekarag
Aku sendiri
Seolah kudapati diri di padang luas yang tandus
Berharap temukan oase
Lalu kupikir
Andai aku jadi kaktus saja
Yang…
“Sheila…!!!” panggil sang Ibu yang hendak meminta bantuan Sheila sembari
menghampiri anak tengahnya itu. “oh, lagi belajar ya?” gumam Sang Ibu saat
melihat Sheila terlihat serius duduk di meja belajar di kamarnya. Segera Sheila
menyudahi menulis puisi untuk membantu ibunya, sehingga apa yang hendak ia
tulis tak sempat ditulisnya.
Sheila adalah anak kedua dari tiga
bersaudara. Gadis berusia 19 tahun ini adalah mahasiswi program studi
pendidikan Bahasa Inggris semester dua di salah satu universitas favorit di
Bandung. Cita-citanya adalah menjadi serang guru. Sebuah cita-cita yang
konsisten sejak ia masih kecil. Sheila merasa dia memiliki bakat untuk menjadi
seorang guru, maka ia pilih fakultas keguruan.
Saat surya menyingkap tirai
malam,Sheila terbiasa mengerjakan tugas yang menjadi bagiannya, yakni menyapu,
mencuci piring dan mengantarkan adiknya ke sekolah. Sheila berangkat kuliah
dengan mengendarai skuter maticnya. Di tengah perjalanan ke kampus, tiba-tiba
ban motornya pecah sehingga ia harus menuntun sepeda motornya sendiri ke tempat
tambal ban terdekat. Di benaknya ia berharap akan ada sang pangeran berkuda
putih yang akan membantunya, namun kenyataannya nihil. Segera Sheila mengabari
Nesa, temannya, lewat pesan singkat. “kalau saja tadi aku bilang mau buat
dianterin kuliah sama Kak Reza, pasti aku gak akan absen mata
kuliah pertama. Hmmmm…” gerutu Sheila di dalam hati.
Sheila bukanlah tipe wanita yang cepat
merespon saat ada laki-laki yang mendekatinya, tapi ia juga bukan tipe wanita
yang cuek. Dia selalu rikuh saat berhadapan dengan laki-laki,
terlebih jika tahu bahwa laki-laki itu menyukainya. Saat semester satu awal,
dia ditembak oleh Gilang, teman satu angkatannya yang
sudah pedekate sejak masa-masa ospek. Namun, Sheila tak lantas
menerimanya. Memasuki pertengahan semester, Arbi, teman sekelasnya, menyatakan
cinta lewat facebook sehingga membuat heboh satu kelas. Lagi-lagi Sheila
menolaknya. Sebenarnya, Sheila menyukai sosok Ikmal, mahasiswa semester enam
yang juga satu program studi. Sheila hanya menjadi pemuja rahasianya, padahal
sahabat-sahabatnya tahu akan hal itu. Ikmal adalah sosok yang smart dan
berkarakter beda menurut Sheila. Seperti anomali, tapi di usianya yang masih
22, dia sudah menjadi salah satu trainer motivasi di salah
satu lembaga training center, juga pembimbing di salah satu tempat
kursus Bahasa Inggris. Mengetahui kalo favorite boynya berstatus
pacaran di facebook, Sheila pun kecewa. “Mereka memang serasi
karena sama-sama smart” Gerutu Sheila sedikit kecewa.
“Shel, menurutku, Gilang itu lebih
keren dari Kak Ikmal…” gumam Nesa, sedikit ragu untuk mengucapkannya, “Yaa,
tiap orang punya pencitraan tersendiri….soal Gilang, aku rasa dia cuma bercanda
aja!” jawab Sheila pada Nesa yang merupakan mak comblang antara
Gilang dengan Sheila. “Justru dia masih ngarep sama kamu, dia bilang…” kalimat
Nesa langsung dipotong Sheila “ahh, mening dibingungkan sama matematika
daripada sama hal-hal kaya gini mah. Nes aku ke toilet dulu
ya!” Begitu keluar dari kelas, dia berpapasan dengan Gilang. Seolah tak
kenal, Gilang memalingkan muka setelah beberapa detik melihat Sheila. “Kenapa
sih dia? Biasa aja lah! Untung aku gak keburu senyum sama dia” gerutu Sheila
agak kesal.
Kini Sheila sedang dekat dengan Reza,
mahasiswa semester empat yang juga satu prodi. Mereka dekat karena
dicomblangkan Metha, teman dekat Reza yang juga cukup akrab dengan Sheila. Di
jam kuliah terakhir, handphone Sheila bergetar tanda ada pesan
masuk, tapi Sheila mengabaikannya.
“So, assignment for next week, Please You watch two western movie and
listen how pronunciation between British stile and American style. Ok That’s
all, you may leave the class!” jelas Bu Indah, Dosen Listening. Dari wajah
penghuni kelas saat itu terlihat raut kepenatan. Tugas-tugas terus bertubi-tubi
datang, walaupun ada juga mahasiswa yang cuek-cuek saja.
Entah mungkin karena tugas-tugasnya mudah, atau karena jenuh dan pasrah,
atau bahkan mungkin sudah memiliki orang andalan yang siap membereskan
tugas-tugasnya.
Dari jauh, Reza sudah melihat Sheila dan berkata pada sahabatnya, Ikbal,
yang ada di sampingnya “Geregett tau gak sama gadis seribu
tuntutan kaya si dia! Tiap kali di
ajak jalan pasti gak bisa, Alasannya pasti
beresin tugas”
“Terus kenapa lo masih aja pedekate?”
“Penasaran! Gue nyamperin dia dulu ya!”
jawab Reza dan langsung memanggil Sheila. Mereka pun mengobrol di bawah pohon
rindang. Namun yang diobrolkan Sheila ialah tentang tugas-tugasnya. Sibuk browsing lewat
laptop dengan memanfaatkan hotspot gratis di area kampus, pertanyaan-pertanyaan
Reza pun dijawab dengan jawaban-jawaban yang tidak koheren. Reza pun terus
memandangi Sheila. Merasa risih, Sheila berkata ”kenapa sih? Awas ya kalau omes!”
“ I love you” “Apa?” “I proud of you” “haah????” “salut aja sama kamu yang
setiap detik disibukkan sama tuntutan. Anak rajin!” jawab Reza sambil
menggerutu dalam hati. Teringat di benak Sheila saat setiap kali smsan dengan
Reza.
Lg ngapain Shel? :-)
Lg beresin tugas nih!
Hmm…rajin!!!
Bukan rajin, tp tuntutan, hehe..
Sejak saat itu, Reza memberikan julukan sendiri pada Sheila yaitu gadis
seribu tuntutan.
Antusiasme Sheila dam perkuliahannya
tdak sia-sia, terbukti dengan IP semester satunya yang tiadak kurang dari
3,5. Belajar di perguruan tinggi itu jangan disamakan seperti di
sekolah menengah. Kuliah itu memperdalam ilmu yang berarti menambah
pemahaman, dan harusnya menjadikan seseorang semakin pintar. Namun, apa guna
kepintaran bila tidak diwujudkan dengan sebuah kesuksesan. Untuk sukses, maka
harus kerja keras dan ulet. Lulusan perguruan tinggi harus sukses, sebab untuk
apa kuliah, jika banyak orang yang sukses dengan ijazah sekolah menengah saja.
Pemikiran itu yang membuat Sheila begitu antusias untuk menjadikan impiannya
tak sebatas impian.
Pagi kembali mengusir awan malam,
setelah semalaman Sheila mnyelesaikan tugas-tugasnya yang sudah dia cicil
setiap malam. Keinginannya agar tugas selesai saat dua hari sebelum deadline akhirnya
tercapai. Namun, alhasil Sheila bangun kesiangan, padahal ada kuliah pagi.
Ditambah lagi dengan motornya yang dipakai Sang kakak pergi entah kemana. Sinar
pagi semakin menjalar, tapi Sang kakak belum juga menampakkan batang hidungnya.
Sheila pun akhirnya naik angkot. Tensinya makin naik karena di angkot Sheila
duduk di sebelah pemuda yang asyik merokok. Saat tiba di gerbang kampus, Sheila
melihat Gilang membonceng Citra, teman sekelas Gilang. Hmm…emang benar,
cowok mah gampang melupakan sesuatu, sebaliknya kalau cewek. Cowok emang mahluk
paling gak sensitive. Gerutu Sheila di dalam hati. Tiba-tiba
tiiiiiitttt… terdengar suara klakson motor Arbi yang mengagetkan Sheila. “Apa
sih?!!!” tegas Sheila sambil mengkerutkan keningnya, tapi Arbi hanya memberikan
tawa kegirangan. “Harusnya hari ini berawal dengan baik karena semua tugas
sudah beres. Tapi…hmm ya sudahlah cause everything it’s gonna be ok!” gerutu
Sheila mencontek potongan lirik lagu Bondan ft. Fade to Black.
Sudah beberapa hari setelah mengobrol
di bawah pohon rindang lalu, Reza tidak mengirim sms, apalagi untuk
bertemu. “padahal lagi santai nih gak ada tugas,
tapi kak Reza kok gak…” ucap Sheila dalam hati. Sebenanrnya bias
saja Sheila memberi kabar pada Reza lewat sms, tapi harga dirinya
terlalu tinggi. Karena hal ini, pikiran Sheila tak karuan. Kurang aktif saat
mengikuti perkuliahan, tidak seperti biasanya, telat mikir, banyak melamun, dan
lain-lain yang mengganggu konsentrasinya.
Sementara itu di lain tempat, Reza
menceritakan perihal sikap Sheila yang cuek padanya pada
Metha. “Dia suka alihin pembicaraan kalo gue coba buat nyatain
perasan. Diajak jalan, pasti gak bisa…mungkin si Sheila gak
suka sama gue, atau mungkin dia udah punya cowok!”
jelas Reza pada Metha. Metha pun menceritakan hal itu pada Sheia dan hal itu
membuat konsentrasinya makin buyar. Tidak hanya saat perkuliahan saja, saat
ditanya oleh ayah, ibu, kakak dan adiknya pun Sheila tidak fokus menjawabnya.
Konsentrasinya pada pelajaran buyar saat Sheila mencoba mengulas pelajaran yang
disampaikan Dosen tadi siang. Tak sengaja menemukan selembar kertas bertuliskan
puisi karyanya yang belum selesai, Sheila pun mencoba melanjutkan puisinya itu.
. . .
Yang tak perlu mencari oase
Yang tetap hidup di tengah kegersangan
Namun sayangnya bukan
Aku adalah sorang insan yang pasti kan resah tanpa air
“Cape hati gue.
Ambisius banget dia, kesibukannya melebihi mahasiswa semester
enam yang lagi Kuliah Kerja Nyata alias KKN. Padahal dia masih semester dua.
Apa dia gak butuh seseorang buat ngasih perhatian
lebih sama dia? Tapi gue tetep suka sama dia” gerutu Reza pada
Ikbal, sohibnya.
“Kalo mau disuka sama dia, lo harus lebih pintar dari
Ikmal, tahu kan?...paling enggak, nyamain lah!” jawab Ikbal.
“ wah ngeledek lo, kurang pintar apa lagi gue? Cuma dua mata
kuliah yang mesti ngulang mah wajar lah, hahaha” gurau Reza, tapi sebenarnya
dia menanggapi serius ucapan sohibnya itu.
Mengetahui bahwa di kampusnya akan
diadakan pelatihan motivasi yang salah satu trainernya adalah
Ikmal, Sheila pun tak akan absent untuk mengikutinya. Selama pelatihan, Sheila
cukup aktif bertanya sehingga diingat Ikmal. Seiring waktu, meraka pun menjadi
akrab, termasuk dengan Anis, pacar Ikmal. Setiap ada seminar atau workshop,
Ikmal dan Anis mengabari Sheila dan mengajaknya. Selain itu, karena melihat
kemampuan Sheila, Anis menawari Sheila untuk mengajar Bahasa Inggris di sebuah
Taman Kanak-kanak. Kesempatan itu tidak disia-siakan Sheila dan orang tuanya
pun mendukung hal itu, asalkan dia bisa memanage waktunya dengan
baik. Apa yang Sheila pelajari saat perkuliahan, lalu dia praktekan saat
mengajar di SD dan hal itu tentu menambah kelancarannya dalam berbahasa
Inggris.
Malam kembali menutup langit biru. Saat
hendak tidur, tiba-tiba tedengar nada pesan masuk. Rupanya dari Reza yang berisi
ucapan selamat malam. Setidaknya hal itu membuat Sheila tersenyum tenang.
Pagi harinya, Sheila yang sedang
berkumpul dengan teman-temannya sambil menunggu kedatangan Dosen, tiba-tiba
dihampiri Reza. Reza pun mengajaknya untuk mengobrol berdua. Setelah berbasa-
basi, lalu Reza berkata “ Besok hari apa ya?”
“Minggu…ya ampun dasar kakek-kakek pikun!”
“Main yuk!”. Seketika itu Sheila pun gugup dan bimbang, lalu Reza
mengalihkan pembicaraan. “Kata Metha, sekarang kamu ngajar Bahasa Inggris di SD
ya?...Wah makin banyak dong tuntutannya! Salut lah sama kamu” Namun Sheila hanya
tersenyum aneh. Lalu Reza mennyanyikan potongan lagu Aishiteru yang
sedang hits “Lupakan sgala obsesi dan ambisimu, akhiri
semuanya cukup sampai di sini…” Entah kenapa mendengar lagu itu Sheila merasa
bahwa Reza sedang menyindirnya. “Oh iya, Nanti sore jam tiga, anak-anak teater
pentas di aula. Aku jadi peran utamanya lho! Nonton ya…kalau gak bisa juga gak
apa-apa” jelas Reza. Bersama teman-temannya, Sheila pun menonton pementasan
teater. Semua orang yang hadir terhibur dan seolah perutnya dikocok dengan humoran
dan kekocakan para pemain. Reza senang dengan kehadiran Sheila. Namun Reza
sedikit cemburu melihat Sheila duduk di samping Arbi. Hari sudah gelap, saat
Reza hendak menghampiri Sheila dengan niat akan mengantarkannya pulang,
tiba-tiba Sheila beranjak bersama Arbi. Rupanya Reza kalah cepat dengan Arbi.
“Cinta emang gak bisa dipaksain, hmm…cukup sampai sini Shel!”
gerutu Reza.
Sejak saat itu, Reza tidak pernah
mengirim sms, menelpon, atau menemui Sheila. Hanya tersenyum kecil saat
berpapasan. “Kak Reza ternyata sama saja, gak serius, cuma
main-main. Hal kayak gini bikin orang jadi payah, jadi mellow. Pacaran itu
bikin nyandu dengan sejuta fantasinya, nyita waktu tau gak!” ucap Sheila dengan
ketusnya.
“Bukan Reza yang mainin kamu, tapi kamu saja yang kurang menghargai
persaann dan perhatiannya. Jangan bohong kalau kamu gak butuh seorang laki-laki
yang bisa sayang sama kamu. Kamu kecewa, tepatnya sakit hati kan? Kuliah itu
memang prioritas, tapi cinta itu salah satu penyemangat juga. Oh iya, Reza
bilang semoga kamu sukses mewujudkan impian kamu” jelas Metha.
Akhirnya, Sheila dapat memahami
perkataan Metha dan menyadari hal itu. “Untuk kedepannya, aku akan lebih
menghargai perasaan seseorang yang memberikan perhatian lebihnya, tapi tetap
dengan prioritasku.”
***